Bertahun-tahun
kita melihat Jogja disajikan dalam bingkai foto yang menyuguhkan
eksotisme budaya, kota yang nyeni, tentram, dan klasik. Terlampau sering
kita melihat gambar-gambar andong dengan kusir yang memakai pakaian
peranakan, prajurit keraton, simbok penjual sayuran di pasar, petani,
senyum ramah penarik becak, motor tua, dan sebagainya. Seolah Jogja
adalah kota di mana kita selalu merasa pulang ke kampung nenek.
Tapi
dalam pameran yang digelar akhir tahun 2013 lalu di Bentara Budaya Yogyakarta kita
akan melihat Jogja dari sudut pandang yang lain. Sebuah pameran yang
bertajuk Jogja Berhenti Nyaman. Judul yang nylekit karena merupakan plesetan atas slogan Jogja yang selama ini dikenal, Jogja Berhati Nyaman.
Jogja
saat ini rupanya sudah menjelma menjadi sebuah kota yang hampir tak ada
bedanya dengan kota besar lain dengan segala problematikanya. Macet
semakin mengular, tumbuh suburnya hotel-hotel yang menggilas bangunan
kuno, hilangnya ruang terbuka hijau, alih fungsi lahan, dan banjir. Ah, seperti bukan Jogja yang kita baca di buku cerita.
Ada
115 karya fotografi jurnalistik yang lebih dari cukup menampilkan Jogja
yang sudah tak lagi ramah. Foto karya Gigih M Hanafi misalnya, merekam
momen seorang pengendara sepeda motor yang jatuh di dekat seorang turis
mancanegara yang sedang melintasi zebra cross. Bagi saya foto ini
menarik karena setiap hari saya mengalami momen betapa sulitnya
menyeberang di kota budaya ini. Pengendara kendaraan bermotor sepertinya
tak mau kehilangan waktu sedetik pun untuk memelankan tunggangannya,
bahkan bila Anda menyeberang di zebra cross sekalipun.
Foto-foto
yang menampilkan alih fungsi lahan juga hadir dalam pameran ini, salah
satunya adalah hasil dokumentasi dari pameran “Panen Terakhir” yang
digelar di Bantul. Pameran tersebut memang sedang merayakan panen yang
sepertinya tak akan bisa terulang lagi di masa datang karena lahannya
segera beralih fungsi menjadi perumahan. Suatu fenomena yang lajunya
cukup kencang di Selatan Jogja.
Tergilasnya
bangunan kuno yang selama ini menjadi ikon arsitektur Kota Jogja pun
terlihat jelas dari beberapa foto seperti foto Tugu Jogja dengan latar
belakang kabel dan bangunan semrawut, juga foto beberapa aktivis sosial
yang sedang menempelkan poster protes di bawah Jembatan Kewek menolak
dipakainya bangunan cagar budaya untuk iklan komersial. Ada juga foto
pembangunan sebuah hotel baru yang merobohkan bangunan lama dan terpaksa
harus menutup jalan kampung.
Kota
pelajar ini juga ternyata rela menggusur sekolah dan merobohkan
bangunannya, padahal sekolah yang ada di daerah Bumijo tersebut
menempati sebuah bangunan bersejarah Brigade Tentara Pelajar.
Kasus
perusakan bangan cagar budaya memang adalah hal yang lumrah dan semakin
sering saya saksikan. Bila kita melintas di Jalan Mangkubumi di selatan
Tugu Pal Putih, maka kita akan melihat bangunan baru
bertingkat-tingkat, padahal dahulu daerah tersebut dipenuhi bangunan
kuno bergaya indisch.
Kawasan Mangkubumi tentu bukan satu-satunya, masih banyak tempat lain
di Kota Jogja yang mengalami nasib serupa. Sungguh disayangkan karena
salah satu faktor yang membuat visual Jogja menjadi istimewa adalah
terjaganya bangunan heritage semacam itu.
Macetnya
jalanan Jogja sepertinya adalah hal yang semakin sering dikeluhkan,
bukan hanya di musim liburan tapi juga di hari-hari biasa. Belum lagi
ditambah tingkah para pengendara yang seperti sedang dikejar setan. Dari
beberapa foto tentang kemacetan, ada foto yang saya agak keberatan
dengan caption-nya, seperti misalnya foto demontrasi mahasiswa menolak
kenaikan harga BBM yang berdampak pada kemacetan lalu lintas. Bagi saya
itu hal lumrah, toh bila tuntutan mereka berhasil kita juga yang akan
merasakannya. Tapi media sepertinya lebih suka mengabarkan kemacetan
lalu lintas ketimbang esensi dari protes itu. Kenapa saya bilang begitu?
karena saya sering mendengarnya sesering media menyamakan anarki dengan
sikap brutal. Hal itu tentu berpotensi menggeser opini masyarakat,
bukan?
Secara
keseluruhan pameran foto ini bisa melepaskan dahaga saya yang sudah
cukup jengah dengan image Jogja seperti yang kita lihat di dalam FTV.
Inilah Jogja yang sebenarnya, inilah Jogja hari ini. Tapi Jogja tetaplah
Jogja, gudangnya seniman. Lha wong protes saja dibikin nyeni.
Foto sekelompok anak yang sedang bermain di jalan raya dengan membawa
poster bertuliskan “Arep Dolanan Lapanganku Ilang” harusnya menyentil
para otoritas pembuat aturan alih fungsi lahan. Atau foto paduan suara
rakyat di halaman balaikota yang sedang mencari walikotanya karena
dianggap lalai mengurus wilayahnya. Oh ya, pameran ini juga bagian dari
Festival Mencari Haryadi yang ya itu tadi, dianggap ga beres. hehehe
Semoga Jogjakarta tidak kehilangan “jog”nya sehingga hanya tersisa "jakarta".
Amin.
0 komentar :
Posting Komentar