TIRTO ADHI SOERJO, ANAK PUNK DARI BLORA



Di kepalanya tak ada rambut berdiri gaya mohawk, malahan ditutup blangkon. Dia juga tidak memakai pakaian hitam ketat dengan banyak asesoris menempel, malahan memakai kain jarik. Rapi jali! Alih-alih mengamen memainkan alat musik seadanya di pinggir jalan, dia justru sibuk belajar di sekolah kedokteran sambil mengasah keahliannya menulis. Anak punk macam apa dia?

Namanya Tirto Adhi Soerjo (TAS), saya pertama kali mengenalnya dari buku Tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta Toer, seorang kandidat nobel sastra dari Indonesia. Di buku tersebut ada seorang tokoh bernama Minke yang tak lain adalah penggambaran dari TAS. Pram menceritakan kisah TAS melalui tokoh Minke, mulai dari masa kecil hingga ajalnya dalam empat buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan rumah Kaca. Roman yang sangat indah. Sementara di buku Sang Pemula, yang juga merupakan karangan Pramoedya, kita bisa membaca biografinya.

TAS lahir di Blora lebih dari seabad lalu, pada suatu jaman saat nusantara kehilangan kejayaannya dan dikuasai Belanda, jauh sebelum republik ini berdiri. Lahir dari keluarga pejabat pribumi dengan nuansa feodal yang kental, tidak membuat TAS terlena, dia malah ia merasa ada yang salah dengan masyarakat di mana dia hidup. Bila ditelusuri, TAS adalah keturunan dari Pangeran Sabrang Lor.

TAS tak pernah menyelesaikan sekolah dokternya, meskipun begitu bukannya tanpa prestasi. Ia mendirikan Sarekat Prijaji, organisasi modern pribumi pertama, empat tahun lebih awal dari Boedi Oetomo. Sayang, sejarah ini tak pernah dipelajari para siswa karena tak tertulis di buku pelajaran. TAS juga adalah pendiri Sarekat Dagang Islamijah (SDI) bersama dengan KH Samanhudi, seorang juragan batik dari Solo. SDI inilah yang merupakan embrio dari Partai Komunis Indonesia setelah perpecahnnya menjadi SI Putih dan SI Merah.

Medan Prijaji saat masih terbit mingguan


Dari sekian sumbangsihnya pada bangsa ini, mungkin jasa terbesarnya adalah terbitnya harian nasional pertama berbahasa Melayu milik Pribumi, Medan Prijaji. Seluruh pekerjanya adalah penduduk pribumi asli, begitu juga kepemilikannya. Medan Prijaji adalah pioneer pers nasional pribumi. Media ini menyajikan berita-berita yang secara keras mengkritik kebijakan serta perlakuan koloni kepada masyarakat, selain tentu juga menelanjangi kelakuan para pribumi yang menjadi antek kolonial.

Tulisan-tulisannya di Medan Prijaji inilah yang membuat TAS memiliki banyak musuh di kalangan kolonial Belanda dan antek-antek pribuminya. Gubernur Jendral Idenburg ketika itu sampai memerintahkan seseorang bernama Dr. Rinkes untuk mengamati dan mengontrol gerak-gerik TAS di Medan Prijaji. Beberapa data tentang TAS ini juga berasal dari tulisan Dr. Rinkes tersebut. Bukti bahwa memang pada jamannya, TAS dianggap sebagai orang pribumi yang sangat berbahaya untuk Belanda.

Dengan berbagai cara yang dilakukan pemerintahan kolonial, Medan Prijaji akhirnya tumbang pada Agustus 1912 setelah 5 tahun terbit dan mengancam pemerintah Hindia Belanda. Dan seperti banyak pejuang kemerdekaan ketika itu, TAS ditangkap dan dibuang. Bila sebelumnya ia pernah dibuang ke Lampung, kali ini ia diasingkan ke Pulau Bacan, Halmahera. Sejak saat inilah, orang mulai lupa dengan TAS.

Lalu kenapa saya sebut dia anak punk? Meskipun istilah punk sendiri baru dikenal sekitar tahun 60an, tapi apa yang dilakukan oleh TAS menunjukkan semangat punk. Semangat kemandirian dan perlawanan. Bisa kita lihat, TAS mendirikan surat kabarnya sendiri, dia menulis sendiri untuk kolom-kolomnya, dia me-layout halaman surat kabarnya, dia mengatur sendiri keuangannya, dia bahkan membuat konsultasi dan bantuan hukum untuk masyarakat juga di surat kabarnya, yang konon adalah cikal bakal Lembaga Batuan Hukum (LBH) yang kita kenal sekarang. TAS melawan pemerintah kolonial belanda lewat surat kabarnya, lewat tulisannya yang tajam. Dan karena itu juga riwayatnya ditamatkan.

Begitulah saya kira seharusnya anak punk. Punk tidak diukur dari seberapa tinggi Mohawk rambutmu, bukan juga dari smoke eyes, atau dari avant garde style. Punk bukan melulu tentang penampilan tapi juga sikap dan pemikiran. Bahwa hebohnya penampilan harus diimbangi dalamnya pemikiran.


0 komentar :

Posting Komentar

 

Mengenai Saya

follow my insta

Instagram

Protect Paradise

Blogger templates