Travel Writer, bla bla bla...

Ada dua tulisan dalam postingan ini, tulisan yang kedua menanggapi sekian banyak komentar untuk tulisan pertama yang jadi headline di Kompasiana dan memancing polemik. hehehehe. Sengaja saya posting ulang di blog pribadi. Sekedar dokumentasi dan siapa tahu ada yang penasaran dengan postingan saya sebelumnya tentang travel atau copy writer. 



Seberapa Besar Kontribusi Travel Writer pada Kerusakan Lingkungan?


Jogja hujan lebat, saya bersama beberapa kawan sedang asyik nongkrong di warung kopi. Ngobrol ngalor ngidul sambil membaca  majalah wisata dan membahasnya. Suasana yang menyenangkan bagi saya yang sedang belajar menjadi travel writer. Tapi kegembiraan seketika berakhir saat melihat postingan foto dari Cahyo Alkantana di Facebook. Di foto itu terlihat segerombolan manusia memenuhi pintu Gua Pindul. Persis seperti cendol di mangkuk.
Seperti itukah wajah Gunungkidul sekarang? Daerah yang dulunya seperti anak tiri saking tandus dan tidak produktifnya, sekarang jadi anak emas pariwisata Yogyakarta. Tapi lihat konsekuensinya, pengelolaan yang serampangan telah sukses membuat gua yang dulunya sepi dan menjadi riuh, penuh, padat, sumpek oleh manusia. Bahkan untuk kasus Gua Pindul, ada konflik antar manusia berebut lahan pengelolaan. Itu baru urusan manusia dengan manusia. Lalu bagaimana dengan biota gua? Apa kabar para kelelawar yang biasanya bobok siang dengan nyaman? Apa mereka masih bisa istirahat bila gua yang menjadi tempat tinggalnya sekarang dipenuhi manusia yang ingin merasakan kegelapan sungai bawah tanah, kemistisan suasana, keindahan ornamen gua, dan sekian pengalaman lain yang tidak mereka dapatkan di kota.

Antroposentrisme atau ekosentrisme?
Dalam etika lingkungan (Sony Keraf), ada tiga teori, antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Lebih lanjut, yang sering dipakai adalah Antroposentrisme dan Ekosentrisme yang bertolak belakang. Sementara biosentrisme cenderung sejenis dengan ekosentrisme.
Antroposentrisme atau biasa disebut etika dangkal atau shallow ecology (SE) adalah etika lingkungan yang memusatkan segala sesuatunya pada manusia, keberadaan lingkungan non manusia hanya berfungsi sebagai instrumen penyokong kehidupan manusia. Sedangkan Ekosentrisme, atau etika dalam atau deep ecology (DE) berpendapat bahwa manusia dan makhluk lainnya punya kedudukan yang sama.

Dari dua etika lingkungan yang sedikit saya jelaskan di atas, kira-kira sudah bisa kita simpulkan bahwa pengelolaan wisata di gunungkidul (dan saya rasa di tempat lain juga begitu) merupakan bagian dari praktek nyata dari etika SE. Bisa kita lihat bagaimana pembangunan infrastruktur untuk fasilitas pengunjung dan kuota kapasitas tidak dipertimbangkan. Semuanya dilakukan demi mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Foto dari Gua Pindul telah menjelaskan semuanya, bahkan tanpa saya berkata-kata.

Saya sadar, warga punya hak untuk mendapatkan penghasilan dari kekayaan alam mereka. Mereka juga sudah berbaik hati tidak melakukan penambangan kapur malah mengelola alamnya demi pariwisata. Ini pilihan yang bijaksana. Tapi tunggu, apa kebijaksanaan masih berlangsung saat para traveler pencari eksotisme mengalir datang, menghasilkan pundi-pundi uang yang seolah tak ada habisnya. Berbeda dengan bukit kapur yang tak lagi menghasilkan setelah selesai ditambang. Rupanya ada yang salah (paling tidak menurut saya). Iming-iming pendapatan yang besar membuat seolah-olah lupa daratan. Lupa kalau manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang berhak atas alam.

Tempat-tempat indah selalu digambarkan dengan kata-kata surgawi, eksotis, tersembunyi, dan lain sebagainya. Lalu saat turis yang datang semakin banyak, fasilitas-fasilitas juga ikut diperbanyak. Sialnya, sekali lagi, banyak yang dibangun serampangan. Di sana sini disemen, dibangun kamar mandi umum, warung makan, penginapan, dan lain-lain. Semakin lama dan semakin tua, kondisinya makin memprihatinkan. Lalu untuk menutupinya tempat wisata berdandan semakin menor, semakin mencolok, make up dipertebal, dempul di mana-mana. Lalu para pengunjung sudah bosan, pergi meninggalkannya karena tempat itu tak lagi eksotis, sudah jauh dari kesan surga, dan sama sekali tidak sunyi, tak lagi perawan…

Saya tahu, antroposentrisme tak bisa dilepaskan, tapi bisakah kita, manusia, sedikit lebih bersahabat dengan alam, tak hanya mengeksploitasinya demi keuntungan semata. Bukankah itu juga demi kepentingan manusia, supaya para turis tak kecewa, tak bosan, dan masih bisa menikmati keindahan. Imbasnya, warga juga masih punya pendapatan.

Ada karib yang mengirim pesan:
“keraimaian lokasi wisata itu bagian dari dosamu. Mimpi eksotisme ala travel writer dan kerakusan hasrat glory manusia”

Saya baru saja ditampar.



Apakah Travel Writer Berkontribusi pada Kerusakan Lingkungan?


Menanggapi berbagai komentar atas tulisan saya dua hari yang lalu, rasanya saya perlu bikin tulisan lagi. Sepertinya (semoga saya tidak keGRan) gara-gara tulisan dan foto yang ada di artikel saya tersebut, isu tentang kaitan antara travel writer dan kerusakan lingkungan kembali mencuat. Isu seperti ini memang bukan yang pertama kali muncul, sebelumnya kisah tentang Pulau Sempu dan Gunung Semeru juga sempat menjadi perdebatan.

Memang benar isi artikel saya tidak terlalu banyak menyoroti kaitan antara travel writer dan kerusakan lingkungan, saya malah membahas pengelolaan tempat wisata. Begitu juga dengan kekurangan-kekurangan lain dalam tulisan tersebut. Saya ucapkan terima kasih, itu koreksi bagi saya.

Ada yang mempertanyakan tentang judul yang dianggap tidak terlalu berkaitan dengan isi, ada juga yang mencak-mencak karena saya dianggap menuduh travel writer sebagai perusak lingkungan.   Judul tersebut muncul karena saya saat ini bekerja sebagai penulis artikel wisata yang kerap disebut dengan travel writer. Sebagai seseorang yang bertugas untuk membuat suatu tempat terlihat menarik dan agar dikunjungi orang, saya merasa punya andil terhadap perubahan pada tempat tersebut baik negatif maupun positif. Bila gara-gara tulisannya menyebabkan orang berdatangan sementara pengelolanya belum siap, ditambah pelancong yang tidak semuanya berkesadaran lingkungan maka travel writer yang berada di posisi memobilisasi massa tentu juga punya peran. Dengan begitu, saya merasa seorang travel writer punya kontribusi langsung maupun tidak langsung dalam perubahan alam dan ekosistem di dalamnya.

Di artikel itu pun saya membicarakan travel writer yang tidak lain adalah saya sendiri, terutama setelah teman saya berkata bahwa ribuan orang memadati Pindul adalah gara-gara travel writer seperti saya. Saya resah bila benar bahwa profesi yang sedang saya jalani ternyata punya dampak buruk terhadap lingkungan. Seberapa besar prosentasenya tentu butuh penelitian lebih lanjut.

Pengertian travel writer bisa jadi lebih luas dari sekedar profesi saya. Travel writer tidak selalu harus menceritakan tentang keindahan suatu tempat, tentang sudut-sudut tersembunyi dan tempat perawan dengan segala eksotismenya. Travel writer bisa juga bercerita tentang perjalanan si penulis, tentang manusia yang ditemui, tentang kekecewaan pada tempat yang dikunjungi, dan sebagainya. Tak harus selalu cerita-cerita indah.

Lalu  harus bagaimana? Saya  merasa mulai sekarang harus memasukkan unsur-unsur peringatan dan himbauan bila sedang menulis tentang suatu tempat. Mungkin itu bisa jadi salah satu cara untuk mendidik pelancong, paling tidak hal itu masih bisa diakomodir untuk genre tulisan artikel wisata mainstream. Untuk jenis dan gaya tulisan di luar profesi resmi saya, mungkin bisa kita bahas lain waktu. Travel writer, pengelola kawasan wisata, masyarakat, dan pelancong masing-masing punya tanggung jawab untuk menjaga lingkungan. Bila judul saya terkesan menyalahkan (padahal saya bertanya) travel writer, itu karena saya ada di dalamnya.
Kita masyarakat Indonesia, memang masih dalam tahap belajar dalam mengembangkan ekowisata, kasus Pindul mungkin bisa jadi contoh bagaimana kita seperti orang yang kaget dan kegirangan dengan apa yang bisa dihasilkan dari wisata alam. Saya harap dengan kasus ini kita semua bisa lebih perhatian pada lingkungan, entah itu si travel writer, masyarakat, pemerintah, dan juga para pelancong.

Eh eh, tapi saya senang orang-orang jadi pada ngomongin (lagi) tentang travel writer yang bertanggung jawab. Semoga polemik ini bermanfaat bagi kita semua.



0 komentar :

Posting Komentar

 

Mengenai Saya

follow my insta

Instagram

Protect Paradise

Blogger templates