Rujak Es Krim, Hubungan Mesra Jawa Eropa




Alkulturasi budaya yang paling mudah diterima sepertinya berasal dari lini kuliner. Tak ada perang gagasan, apalagi ideologi. Tak ada gontok-gontokkan atau teriakan penjajahan. Pun, sepertinya susah dijadikan komoditas politik, terlebih politik praktis. Sinkretisme kuliner lokal dan bawaan dari luar menjelma menjadi sajian yang menawan. Rujak es krim menjadi salah satu contohnya.


Rujak yang merupakan kuliner khas Indonesia berkolaborasi dengan es krim yang dikenal sebagai makanan penutup orang-orang Eropa, meskipun konon asalnya dari Cina. Indonesia sendiri mengenal es krim saat masa kolonial Belanda. 



Siang ini, setelah bertahun-tahun tinggal dan menambah kepadatan, saya menyambangi penjual rujak es krim pertama di Jogja. Di kota inilah untuk pertama kalinya saya mengenal rujak es krim, yang sekaligus menjadi hulu dari aliran persebaran kuliner yang telah menjadi salah satu ikon Jogja.


Cukup mudah menemukannya, terletak menempel di sisi barat tembok besar yang mengelilingi Puro Pakualaman. Sepintas terlihat biasa saja, hanya sebuah gerobak kecil di bawah pohon dengan beberapa kursi plastik berjajar di sepanjang tembok putih. Saya suka komposisinya!



“Maem mriki napa bungkus, mbak?” sambutan renyah dari penjual langsung menghampiri begitu saya datang. Dialah Pak Nardi, sang pelopor rujak es krim. Sejak 35 tahun yang lalu, lima tahun sebelum anak pertamanya lahir, Pak Nardi dan istrinya sudah menjual rujak es krim. "Kawit jaman ra enak, mbak", begitu ujarnya saat ditanya sejak kapan melakoni usahanya. Ya, meskipun sekarang mudah ditemui penjual makanan sejenis, tapi rasanya saya tetap wajib sowan ke yang satu ini.


Pesanan saya datang, seporsi rujak dengan toping es krim warna merah muda yang lembut. Baby pink! Sendokan pertama meluncur ke mulut, hhhmmm... nikmat. Gabungan rasa rujak yang beraneka dan lembut es krim bersatu menjelajahi empat bagian lidah yang punya spesialisasi masing-masing dalam mengidentifikasi rasa. Ada manis, asam, asin, pedas. Ehhmmm minus rasa pahit yang tak ditemukan jejaknya oleh pangkal lidah saya.




Duduk bersandar di tembok putih Puro Pakualaman, saya menikmati setiap suapan dengan perasaan senang.  Padahal, sebenarnya tak ada yang istimewa dari rujak es krim buatan Pak Nardi. Isian rujaknya sama saja dengan yang dijual di tempat lain, rasa sambalnya pun biasa. Tapi embel-embel pionir ditambah dengan tempat yang sederhana, nyaman, dan dengan sentuhan tembok kuno bisa membuatnya terasa spesial.  

Jalanan yang lengang dan semilir angin membawa pikiran saya melayang, membayangkan kira-kira seabad yang lalu, es krim ini hanya dinikmati para aristokrat penghuni balik tembok yang saya sandari. Dan hari ini, rakyat jelata seperti saya bisa melahapnya dengan membayar Rp 4.000,- saja, itu pun sudah ditambah rujak.

Begitulah, hidup dalam romantisme memang sanggup membuat yang biasa menjadi istimewa. Dan kita bahagia karenanya.









0 komentar :

Posting Komentar

 

Mengenai Saya

follow my insta

Instagram

Protect Paradise

Blogger templates