PENYAKIT TAKUT HITAM


Ojo munggah gunung, ngko ireng! 
Ojo sepedahan, ngko ireng! 
Ojo dolanan prau ng kali, ngko ireng!
Ojo kokehan metu awan-awan, ngko ireng!

(Jangan naik gunung, nanti hitam! 
Jangan sepedahan, nanti hitam!
Jangan main perahu di sungai, nanti hitam!
Jangan kebanyakan keluar siang-siang, nanti hitam!)

Apa ada yang pernah mendengar seperti itu? Saya sering. Bahkan, sayalah obyek dari deretan kata-kata tersebut. Ya, ibu saya hobi sekali mengulang frase kalimat-kalimat itu dalam berbagai kesempatan, terutama saat melihat gerak-gerik saya yang sepertinya sudah siap untuk nglanthang. Memangnya ada apa dengan hitam? Kecap yang nomer satu itu juga warnanya hitam!



Tentu saja saya sebal. Saya anggap ibu dan nenek saya korban tren. Korban iklan krim pemutih. Korban bisnis jual beli segala produk yang menghakimi bahwa yang putih itu cantik. Korban rantai makanan dari makhluk buas bernama pemilik modal. Maka, inilah nasib saya yang berkulit hitam dari sononya. Dipaksa untuk menjauhi matahari yang hangat demi kulit putih langsat!




Saya menuduh iklan-iklan pemutih itu yang membuat keluarga saya jadi begini. Para produsen krim beracun yang menjejalkan hukum putih adalah cantik. Berkat terlalu sering nonton TV yang setiap harinya ada iklan pemutih, mulai dari yang modelnya berpakaian seksi sampai yang sok syar'i, berkerudung lebar sambil menawarkan krim yang bisa membuat cantik luar dalam. Bah!

Begini kira-kira kata simbah saya di suatu hari yang telah berlalu, "Nganggo kui lho, ben putih ayu..." Nah, tuduhan saya benar, kan! Atau di lain hari seperti ini, "Kowe ga bedakan? Kok ijek ireng?" Hah, rupanya simbah saya senang saya berdandan gaya lenong. Leher ke bawah gelap, tapi muka cerah mempesonahhh...



Gara-gara impian mereka pengen punya keturunan berkulit cerah bak model di iklan-iklan itu, saya dilarang bepergian yang sekiranya bisa membuat pigmen saya berlipat-lipat jumlahnya. Boleh sih pergi, tapi naik mobil sampai tujuan lalu saat keluar sudah ada bangunan yang menaungi agar terhindar dari ciuman panas matahari.



Padahal, seandainya saja saya menuruti segala saran yang cenderung menjadi perintah itu, kulit saya juga tidak mungkin jadi putih karena secara genetik, bapak berkulit segelap kulit saya. Lalu kenapa saya harus berdiam diri di rumah demi kulit yang ga mungkin jadi putih kecuali saya mau memasukkan zat-zat yang mungkin tidak cocok untuk tubuh saya.



Bagaimana mungkin saya betah sementara suara sungai di luar sana berteriak minta diarungi, mengapa harus diam di rumah saat angin gunung memanggil-manggil, dan kenapa harus mengikat kaki sementara banyak tempat bersejarah yang belum dijelajah...


Aaahhh... pernyataan tadi pasti membuat saya terlihat seperti anti rumah. Tidak juga. Saya suka menjahit, saya suka membaca di bawah jendela, saya senang berkebun di halaman yang rindang, saya betah di depan layar monitor menjelajahi dunia maya, saya menikmati aktivitas menyapu dan mengepel, dan tentu saja saya kerap bermalasan di kasur.



Tapi ada kalanya saya butuh pergi keluar. Menyapa air sungai, menengok hutan, bercengkrama dengan senja di sabana, menciumi wangi pasar, merasakan belaian semilir angin di pantai, mendengar gedung-gedung tua hingga arca bercerita tentang segala yang disaksikannya. Ini perkara kesenangan, ini cuma masalah hobi. Sesederhana itu. Setiap orang boleh berbeda, setiap orang boleh memilih yang disukainya. Dan jangan memaksa-maksa.


Ini bukan pledoi saya yang berkulit sangat gelap, toh saya merasa tidak punya masalah dengan hal itu. Saya hanya merasa terlalu sayang bila harus menukar kebahagiaan untuk imaji palsu dari tukang obat. Tidak ada salahnya menjadi putih kalau memang Anda dilahirkan dengan pigmen yang minimalis. Dan tentu tidak menjadi dosa saat Anda berkulit gelap karena produksi pigmen yang berlebih. Tapi memaksakan dan mengorbankan diri sendiri demi penilaian massal tentang konsep cantik tentu memuakkan. Bagi saya, mengkotak-kotakkan kecantikan sekedar dari warna kulit adalah perbuatan rasis. Di bumi ini banyak suku yang berkulit gelap, di Papua dan Afrika misalnya. Lalu, seenaknya tukang obat bilang yang hitam harus diputihkan. Hah!

Kalau sudah seperti ini, rasa-rasanya warna kulit pun buat saya jadi sikap politis. Saya menolak berkulit terang, sebab saya gadis tropis yang dilahirkan berkulit eksotis!

Sekian.







0 komentar :

Posting Komentar

 

Mengenai Saya

follow my insta

Instagram

Protect Paradise

Blogger templates