Memburu Golden Sunrise ke Kandang Wedhus Gembel

Waktu mendekati pukul 12 malam ketika saya sampai di base camp terakhir sisi utara jalur pendakian Gunung Merapi, Desa Selo, Boyolali, Propinsi Jawa Tengah. Jemari yang kaku karena memegang setang sepeda motor setelah dua jam perjalanan dari Jogja, menggerakkan saya untuk segera mencari sumber kehangatan dari segelas jahe panas. Usaha yang cukup berhasil. Tim pendakian saya kali ini berjumlah 3 orang, yang pertama adalah seorang kawan lama yang merupakan pendaki gunung profesional, yang kedua seorang kandidat doctor untuk studi Menejemen Kebencanaan dari Kanada, dan terakhir tentu saja saya sendiri.
Kami beruntung, cuaca cerah malam ini. Gemerlap bintang mengingatkan saya pada lukisan termasyur Vincent Van Gogh, Starry Night. Luar biasa indah. Sesekali kami beristirahat, mengumpulkan tenaga sambil menanti bintang jatuh dan memandang lepas ke arah kota di bawah kami. Lampu-lampu merkuri dari jalanan dan rumah penduduk tampak seperti ribuan kunang-kunang. Sementara di ujung batas mata sanggup memandang, terlihat cahaya lampu mengular seperti iring-iringan monster dalam Film The Thirteenth Warrior.  Bedanya, bila di film itu para ksatria menanti monster dalam diam yang mencekam, kami di sini merasakan damai dalam diam.
Sulit dibayangkan tempat sedamai ini adalah sumber ketakutan bagi masyarakat Jawa selama berabad-abad, hingga sekarang. Bagaimana tidak, daya destruktifnya sanggup memporak-porandakan peradaban. Kerajaan Mataram Kuno bahkan sampai harus memindahkan pemerintahannya ke timur Pulau Jawa akibat letusan besarnya. Terkuburnya Candi Borobudur pada abad 10, sebelum ditemukan kembali di abad 19 oleh Raffles termasuk salah satu bukti keganasan Merapi. Di era yang lebih baru, letusannya di tahun 1872 terdengar hingga Kerawang, Madura, dan Bawean.
Dengan perkiraan waktu perjalanan sekitar 4-5 jam, kami berharap bisa menikmati fajar di ketinggian sekitar 2900an meter dpl, di Puncak Merapi, gunung berapi paling aktif di negeri ini. Setelah melewati perkebunan sayur, hutan, hingga, tanah berbatu yang semakin miring, akhirnya kami sampai di Pasar Bubrah. Area ini sering dipakai oleh pendaki untuk menggelar tenda sebelum melanjutkan perjalan menuju kawah merapi.
Pasar Bubrah yang sekarang berupa lapangan, dulunya merupakan kawah merapi yang dikategorikan ke dalam Era Merapi Pertengahan yang terjadi akibat letusan eksplosif sekitar 8.000-2.000 tahun lalu. Sementara itu, puncak merapi terbaru, yang disebut sebagai Gunung Anyar termasuk ke dalam Merapi Baru, masih berusia sekitar 2000 tahun. 
Diperlukan waktu sekitar 1 jam dari pasar bubrah menuju kawah merapi. Tingkat elevasi yang semakin meninggi, ditambah medan berpasir cukup menyulitkan perjalanan menuju kediaman Si Wedhus Gembel. Sering kali tangan harus ikut menyangga tubuh, memaksa kami merangkak karena pijakan yang terus-menerus merosot. Beberapa meter sebelum sampai di puncak, cahaya kuning keemasan mulai muncul, dengan latar langit bersih tanpa awan. Inilah Golden Sunrise. Pemandangan impian para pemburu fajar.
Sampai di bibir kawah, semilir asap belerang menyambut kami. Di tengah kawah, terlihat warna merah muda dari lava, sisa-sisa erupsi besar di penghujung tahun 2010. Banyak hal berubah sejak letusan terakhir gunung Merapi. Seperti runtuhnya Puncak Garuda, berkurangnya ketinggian gunung dari yang sebelumnya 2.968 m dpl menjadi 2914 m dpl, dan kawah yang semakin menjorok ke dalam setelah memuntahkan lebih dari 50 juta kubik material. Wedhus Gembel-nya, demikian warga sekitar menyebut awan panas, terbang dan menghanguskan perkampungan. Data dari BNPB menunjukkan, jumlah pengungsi mencapai lebih dari 100 ribu orang, sementara tak kurang dari 250 orang meninggal dunia yang diakibatkan oleh sapuan awan panas dan terjangan material dari kawah Gunung Merapi.
Dari Puncak Merapi, kita bisa sekaligus menikmati keindahan Gunung Merbabu yang terletak persis di sebelah utara. Membayangkan seolah kita bisa melompat dari gunung ke gunung, melupakan usaha keras menyusuri jalan setapak menuju puncak. Puas merekam keindahan panorama ke dalam hati serta memori otak dan kamera, kami segera turun. Dalam perjalanan menuju basecamp, kami menikmati pemandangan petak-petak ladang dan perkebunan sayur penduduk di kejauhan. Mirip dengan petak-petak sawah di bawah gunung dalam lukisan masa kecil kita.
Sesungguhnya, tidak pernah ada bencana alam. Bumi hanya sedang bergerak menyeimbangkan diri. Erupsi Merapi yang menakutkan sesungguhnya adalah proses positif untuk tanah di sekitarnya. Menebarkan abu vulkanik demi menyuburkan tanah, membawa kemakmuran bagi pemujanya. 

saya menulis lagi tentang Merapi di momen yang berbeda, bisa dilihat di  dolan sisan makaryo 
Hamparan awan

Golden Sunrise

Sinar emasnya menyiram kami

Perhatikan, ada bayang-bayangku di kepulan asap kawah

Mau nyemplung kawah?

Girls

di pinggir kawah

we are double trouble

partner in crime

dari pasar bubrah menuju puncak

Gunung Merbabu yang tenang

Pasar Bubrah

Pengen main ke sawahnya sana

Ijonya nyenengin, ya?

Jalur pendakian merapi yang berbatu

Hijau dan biru

Hasil panen dari lereng Merapi



0 komentar :

Posting Komentar

 

Mengenai Saya

follow my insta

Instagram

Protect Paradise

Blogger templates