MAS MARCO, JURNALIS BENGAL DARI CEPU





Kampung halamanku ini rupanya pernah melahirkan putera pembangkang, paling tidak begitulah sejarah penguasa menganggap. Salah satunya adalah Marco Kartodikromo, jurnalis radikal yang gemar melakukan tur penjara, dari satu sel ke sel yang lain akibat tulisannya yang kerap menampar muka Pemerintah Kolonial Belanda.


Mas Marco, begitu dia biasa dipanggil, lahir di Cepu pada tahun 1890. Tanggal berapa dan bulan apa, tak ada catatan pasti (ada yang mengatakan tanggal 25 Maret). Tak seperti para tokoh pergerakan pada umumnya yang lahir dari keluarga priyayi dan mengenyam pendidikan tinggi, Mas Marco tak pernah merasakan bangku STOVIA, HBS, atau ELS. Dia hanya lulus Sekolah Ongko Loro (De Scholen der Tweede Klasse) di Bojonegoro, sekolah bagi bumiputera rendahan anak-anak para petani, buruh, dan sejenisnya.


Pendidikan rendah tak kemudian membuatnya terbelakang, karena ilmu tak hanya didapat dalam gedung-gedung institusi pendidikan. Bagi Mas Marco, bumi adalah sekolah, kondisi sosial masyarakat menjadi laboratorium, dan siapa saja bisa menjadi gurunya. Dia seperti ikan yang melahap jutaan plankton tak terlihat di dalam air.


Mas Marco mulai mempelajari dunia jurnalistik saat berada di Bandung. Di Kota itu dia magang di koran pertama berbahasa Melayu milik Pribumi, Medan Prijaji. Dari Tirto Adhi Soeryo (TAS) sang pemilik Medan Prijaji, Mas Marco tak hanya belajar menulis, tapi juga layout, manajemen jurnalistik, hingga organisasi modern. Saat itu Medan Prijaji sedang dalam masa kegemilangan dengan oplah dan perhatian besar. Kita akan menemukan fragmen ini bila sedang membaca Tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kandidat nobel sastra kelahiran Blora. Di buku ketiga dari tetralogi tersebut, kita akan berkenalan dengan Marco, pemuda dekil dan lusuh yang datang menemui TAS. Tak disangka, anak inilah yang kelak meneruskan perjuangannya.


TAS sepertinya memang menjadi guru sekaligus idolanya. Setelah Medan Prijaji dibuat bangkrut dan TAS dibuang ke Maluku, Mas Marco tak berhenti. Dua tahun berguru pada TAS menjadi modal melanjutkan perjuangan gurunya dengan mendirikan Indlandsce Journalististen Bond (IJB) di Surakarta, aliansi jurnalis pertama di Hindia Belanda.



Surat Kabar Doenia Bergerak yang merupakan organ utama di dalam IJB menjadi corong barunya untuk berteriak di kuping para penguasa, menyampaikan pesan kesengsaraan rakyat dengan kata-kata liar, umpatan, dan selusin makian. Dia bisa dengan santai menyebut Welvaart Comisse (Komisi Kesejahteraan Hindia Belanda) sebagai WC atau kakus. Itulah gaya Mas Marco. Gaya urakan yang membuatnya terlempar ke penjara karena tuduhan persdelict dengan pasal saktinya yang akan menghukum siapapun yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.


Tak sekali itu Mas Marco dibui. Tercatat lima kali dia plesiran ke berbagai Hotel Vrij milik kolonial akibat tulisannya yang tak hanya memaki, tapi juga menampar, menendang, menjambak, hingga memukul Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.


Mangsa tulisannya bukan hanya pemerintahan yang menghisap rakyat, tapi juga para priyayi pengabdi pemerintah, serta teman pergerakan yang dianggap lembek, menye-menye, dan takut pada penguasa. Itulah sebabnya Mas Marco bersitegang dengan Tjokroaminoto yang dianggapnya tidak serius berjuang.


Cepu patut berbangga pada anaknya yang bengal ini. Dengan kata-katanya yang tajam, Mas Marco menantang berduel penguasa yang telah menghisap negerinya sejak sebelum dia lahir. 


Pengalaman hidupnya semasa kecil yang  menjadi warga kelas dua hingga ia tak bisa melanjutkan sekolah, serta situasi sosial saat dia bekerja sebagai juru tulis di NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg) yang secara langsung melihat bagaimana buruh-buruh pribumi harus menjadi kuli di negerinya sendiri. Dia menyaksikan pribumi mendapat cacian, bentakan, dan perintah yang seenaknya dari para majikan yang berasal dari negeri seberang. Mas Marco melihat bagaimana para kuli panggul harus membawa beban berat di stasiun, sementara majikannya berpakaian bersih, rapi, bertopi, menjinjing tas kecil atau mengayun-ayunkan tongkatnya.


Radikalisme Marco terbentuk, dia berguru pada siapapun. Pada Tirto Adhi Suryo, pada Suwardi Suryaningrat, pada Tjipto Mangunkusumo, pada rekan seperjuangannya mulai dari Semaoen hingga Haji Misbach, termasuk pada orang Belanda yang mengajarinya berbahasa Belanda hingga fasih. Ia berguru pada siapa saja, sama seperti ia akan mengambil tempat berseberangan dengan siapa pun yang dianggap kontra revolusi.


Perjuangannya baru berakhir saat dia mati digerogoti malaria kala diasingkan di Boven Digul, Papua. Bahkan saat dalam pengasingan ini pun dia masih berkali-kali mengirimkan tulisannya  pada Harian Pewarta Deli. Meski banyak berjasa di era pergerakan, namanya tak pernah saya temukan di buku sejarah saat saya sekolah. Bahkan dalam Laporan Dewan Pers tentang Direktori Pers Indonesia, namanya tak pernah disebut sebagai Presiden IJB.


Mas Marco, Nyawanya dihilangkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dan sejarahnya dihapus oleh pemerintahan negeri ini.


Maka orang Indonesia hingga sekarang harus tetap mengingat salah satu sajak bikinan Mas Marco:

“Saya berani bilang,
Selama kalian rakyat hindia
Tidak punya keberanian
Kalian akan terus diinjak-injak
Dan akan menjadi seperempat manusia”












2 komentar :

  1. #BloggerCepu

    Terima kasih sharingnya mbak, semoga semakin banyak yang mengenal tokoh-tokoh kampung sendiri yang berjiwa ksatria dan bervisi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2 mbak admin, biar makin cinta dan tau harus ngapain ya. Mas Marco memang menginspirasi :) eh malah blm nulis kuliner

      Hapus

 

Mengenai Saya

follow my insta

Instagram

Protect Paradise

Blogger templates